HOME

Sabtu, 31 Januari 2015

UJIAN NASIONAL; UJI INTEGRITAS



(Suherman Syach Guru SMPN 2 Pinrang.) Pelaksanaan ujian nasional (baca: UN) pada tahun 2014 semakin ketat. Penerapan paket soal yang berbeda untuk setiap siswa dalam satu ruang kelas, merupakan langkah taktis mencegah penyimpangan dan kecurangan yang selama ini berulangkali terjadi dalam ujian nasional. Perilaku saling menyontek dan banyaknya bocoran kunci jawaban yang diperoleh siswa sebelum dan pada saat ujian berlangsung sangat sulit lagi terjadi. Sistem ini teruji dalam UN tingkat SMA yang dilaksanakan beberapa hari yang lalu. Meskipun ada beberapa kasus perjokian yang terungkap dibeberapa daerah, tetapi kecurangan itu tidak semarak dan seramai dengan kejadian pada tahun – tahun sebelumnya. Semoga saja, pelaksanaan UN pada tingkat SMP yang sementara (hari ini) berlangsung, tidak terjadi kecurangan yang dapat memporak – porandakan kredibiltas UN yang telah lama menui protes dan kontroversi dalam dunia pendidikan kita.
Uji Integritas
Pada hakekatnya, ujian nasional bukan semata ujian bagi siswa untuk lulus dan menamatkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi. Sesungguhnya, Ujian Nasional ini adalah uji integritas bagi seluruh pemangku pendidikan di sekolah, baik itu guru, orangtua, pemerintah maupun masyarakat. Kepentingan para pemangku pendidikan itu sangat besar. Tingkat kelulusan siswa dalam UN akan menjadi indikator keberhasilan mereka. Semakin tinggi kelulusan siswa, berarti mereka semakin berhasil. Sebaliknya, semakin banyak siswa yang tidak lulus, itu berarti mereka tidak berhasil atau gagal.
Bukan rahasia lagi kecurangan yang terjadi seputar ujian nasional melibatkan banyak pihak dan berlangsung cukup lama menggerogoti dunia pendidikan kita. Praktek kotor tersebut sangat kronis dan terstruktur karena melibatkan praktisi pendidikan. Dalam kurun waktu yang lama, kecurangan dalam ujian nasional sudah ibarat lingkaran setan yang sangat sulit diatasi dan dibasmi. Tiap tahunnya, modus kecurangan semakin berkembang dan hanya diendus ibarat bau kentut yang tidak kelihatan tapi terasa bau busuknya.
Posisi guru sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah menjadi posisi yang paling dilematis, sekaligus memikul beban yang paling berat. Guru yang berperan sebagai pendidik, tentunya sangat berharap siswa yang mereka ajar setiap harinya dapat lulus dalam ujian nasional. Ekspektasi yang sama, juga datang dari orangtua siswa dan pemerintah. Mereka berharap siswa yang ikut ujian nasional, semuanya bisa lulus. Orangtua siswa tentunya tidak mau kalau anak – anak mereka gagal. Begitupun harapan pemerintah khususnya yang membidangi pendidikan, jika banyak siswa yang tidak lulus maka mereka akan mendapat banyak sorotan dari masyarakat, bahkan mungkin teguran dari atasan yang lebih tinggi.   Meraka tidak mau dan takut kalau dinilai gagal atau tidak berhasil. Siswa, orangtua, guru, kepala sekolah, dan bahkan pemerintah tidak mau disebut gagal ketika banyak siswa yang tidak lulus. Ketakutan – ketakutan inilah yang membuat mereka menghalalkan segala cara meluluskan siswa – siswa mereka pada setiap ujian nasional dengan berbagai modus kecurangan.
Dibalik super ketatnya sistem ujian nasional 2014, tentunya bangsa ini sangat mengharap integritas para praktisi pendidikan, khususnya para guru untuk tidak lagi mencemari profesionalitasnya dengan melakukan kecurangan dalam ujian nasional. Biarkanlah anak – anak kita belajar berjuang melalui tahapan tantangan dalam kehidupan mereka yang lebih bermakna tanpa dikotori ketidakjujuran dan manipulasi. Biarlah anak – anak kita menjadi generasi bangsa yang jujur, mandiri, dan pekerja keras, tidak seperti generasi sekarang yang banyak melakukan kolusi, manipulasi dan korupsi. Jadikanlah UN sebagai uji integritas bagi kita semua, guru maupun siswa. Kejujuran itu adalah sifat ilmiah yang melekat pada semua metodologi ilmu pengetahuan, jangan mencederai ilmu pengetahuan itu dengan ketidakjujuran.
Kelemahan UN 2014
Sistem UN 2014 sudah cukup baik dibanding tahun – tahun sebelumnya. Tetapi untuk mencapai perbaikan yang lebih baik lagi, ada beberapa catatan otokritik yang perlu disampaikan kepada pemerintah tentang pelaksanaan UN 2014 ini.
Pertama;  UN hanya alat ukur kognitif. UN sebagai instrumen penilaian pendidikan masih sangat lemah karena hanya mampu mengukur aspek kognitif siswa saja, sementara aspek afektif dan psikomotorik siswa tidak tersentuh. Kecerdasan emosional, sprtitual dan skill tidak menjadi standar kompetensi siswa yang diperhitungkan. Bahkan UN sepertinya mendikotomi ilmu pengetahuan dan cenderung mendewakan ilmu eksak dibanding ilmu sosial. Secara tidak langsung hal tersebut telah mengkonstruksi pikiran siswa bahwa ilmu eksak lebih baik dibanding dengan ilmu sosial.  
 Kedua; Pembuatan Soal Ujian Nasional. Iklan pemerintah (kemendikbud) di media massa yang menyebutkan keterlibatkan dosen sebagai tim pembuat soal ujian nasional adalah sesuatu yang ironi dan sedikit mengusik nurani penulis sebagai guru. Kok bisa, soal ujian nasional untuk siswa di sekolah dasar dan menengah, yang membuatnya adalah dosen ? Mengapa bukan semuanya dari guru ? Kalau alasan pemerintah adalah untuk meningkatkan kualitas soal ujian nasional, menurut penulis itu alasan yang berlebihan. Idealnya, sistem penilaian pendidikan di sekolah harus diserahkan sepenuhnya kepada kalangan guru. Guru yang mengajar, tentunya lebih mengerti apa yang harus diujikan kepada siswanya.
Ketiga; Kelulusan Siswa adalah Otoritas Sekolah. Kelulusan siswa pada 2014 ini masih ditentukan nilai yang diperoleh dari UN. Meskipun kriteria kelulusan siswa telah memperhitungkan proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah dengan presentase 40% melalui nilai rapor dan nilai ujian sekolah, tetapi presentase 60% dari bobot ujian nasional masih sangat tinggi dan menentukan. Anak – anak kita masih memiliki kemungkinan yang lebih besar tidak lulus sekolah jika mereka salah menjawab soal – soal ujian nasional yang berlangsung beberapa jam saja, meskipun mereka pandai ketika dalam proses belajar mengajar berlangsung di kelas. Idealnya nilai UN bukan faktor dominan dalam menentukan kelulusan siswa. Memberikan otoritas kepada sekolah dalam menentukan kelulusan siswa merupakan terobosan yang sangat positif, wajar dan logis. Karena bagaimanapun pihak yang paling bertanggungjawab dan paling tahu secara objektif kualitas dan kompetensi yang dicapai oleh siswa itu adalah pihak sekolah. Nilai UN cukuplah menjadi standar pemetaan mutu pendidikan kita secara nasional.
Terlepas dari berbagai kelemahan UN 2014, tentunya publik berharap agar masa buram ujian nasional tidak lagi terulang. Pendidikan karakter yang digaungkan pemerintah bukan sekedar slogan tanpa makna. UN 2014 adalah momentum strategis bagi para praktisi pendidikan untuk membuktikan bahwa dunia pendidikan kita sudah benar – benar bersih dan dapat dipercaya. Kredibilitas dan integritas sekolah dapat ditunjukkan melalui momen pelaksanaan ujian nasional yang jujur, bersih, dan bebas dari berbagai kecurangan dan penyimpangan. Semoga,,,,,,

0 komentar:

Posting Komentar