(Suherman Syach Guru SMPN 2 Pinrang.) Pelaksanaan ujian nasional (baca: UN) pada
tahun 2014 semakin ketat. Penerapan paket soal yang berbeda untuk setiap siswa
dalam satu ruang kelas, merupakan langkah taktis mencegah penyimpangan dan
kecurangan yang selama ini berulangkali terjadi dalam ujian nasional. Perilaku
saling menyontek dan banyaknya bocoran kunci jawaban yang diperoleh siswa
sebelum dan pada saat ujian berlangsung sangat sulit lagi terjadi. Sistem ini
teruji dalam UN tingkat SMA yang dilaksanakan beberapa hari yang lalu. Meskipun
ada beberapa kasus perjokian yang terungkap dibeberapa daerah, tetapi
kecurangan itu tidak semarak dan seramai dengan kejadian pada tahun – tahun
sebelumnya. Semoga saja, pelaksanaan UN pada tingkat SMP yang sementara (hari
ini) berlangsung, tidak terjadi kecurangan yang dapat memporak – porandakan
kredibiltas UN yang telah lama menui protes dan kontroversi dalam dunia
pendidikan kita.
Uji
Integritas
Pada
hakekatnya, ujian nasional bukan semata ujian bagi siswa untuk lulus dan
menamatkan pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi. Sesungguhnya, Ujian
Nasional ini adalah uji integritas bagi seluruh pemangku pendidikan di sekolah,
baik itu guru, orangtua, pemerintah maupun masyarakat. Kepentingan para
pemangku pendidikan itu sangat besar. Tingkat kelulusan siswa dalam UN akan
menjadi indikator keberhasilan mereka. Semakin tinggi kelulusan siswa, berarti
mereka semakin berhasil. Sebaliknya, semakin banyak siswa yang tidak lulus, itu
berarti mereka tidak berhasil atau gagal.
Bukan rahasia
lagi kecurangan yang terjadi seputar ujian nasional melibatkan banyak pihak dan
berlangsung cukup lama menggerogoti dunia pendidikan kita. Praktek kotor
tersebut sangat kronis dan terstruktur karena melibatkan praktisi pendidikan.
Dalam kurun waktu yang lama, kecurangan dalam ujian nasional sudah ibarat
lingkaran setan yang sangat sulit diatasi dan dibasmi. Tiap tahunnya, modus
kecurangan semakin berkembang dan hanya diendus ibarat bau kentut yang tidak
kelihatan tapi terasa bau busuknya.
Posisi guru
sebagai ujung tombak pendidikan di sekolah menjadi posisi yang paling
dilematis, sekaligus memikul beban yang paling berat. Guru yang berperan
sebagai pendidik, tentunya sangat berharap siswa yang mereka ajar setiap harinya
dapat lulus dalam ujian nasional. Ekspektasi yang sama, juga datang dari
orangtua siswa dan pemerintah. Mereka berharap siswa yang ikut ujian nasional,
semuanya bisa lulus. Orangtua siswa tentunya tidak mau kalau anak – anak mereka
gagal. Begitupun harapan pemerintah khususnya yang membidangi pendidikan, jika
banyak siswa yang tidak lulus maka mereka akan mendapat banyak sorotan dari
masyarakat, bahkan mungkin teguran dari atasan yang lebih tinggi. Meraka
tidak mau dan takut kalau dinilai gagal atau tidak berhasil. Siswa, orangtua,
guru, kepala sekolah, dan bahkan pemerintah tidak mau disebut gagal ketika
banyak siswa yang tidak lulus. Ketakutan – ketakutan inilah yang membuat mereka
menghalalkan segala cara meluluskan siswa – siswa mereka pada setiap ujian
nasional dengan berbagai modus kecurangan.
Dibalik super
ketatnya sistem ujian nasional 2014, tentunya bangsa ini sangat mengharap
integritas para praktisi pendidikan, khususnya para guru untuk tidak lagi
mencemari profesionalitasnya dengan melakukan kecurangan dalam ujian nasional.
Biarkanlah anak – anak kita belajar berjuang melalui tahapan tantangan dalam
kehidupan mereka yang lebih bermakna tanpa dikotori ketidakjujuran dan
manipulasi. Biarlah anak – anak kita menjadi generasi bangsa yang jujur, mandiri,
dan pekerja keras, tidak seperti generasi sekarang yang banyak melakukan kolusi,
manipulasi dan korupsi. Jadikanlah UN sebagai uji integritas bagi kita semua,
guru maupun siswa. Kejujuran itu adalah sifat ilmiah yang melekat pada semua
metodologi ilmu pengetahuan, jangan mencederai ilmu pengetahuan itu dengan
ketidakjujuran.
Kelemahan
UN 2014
Sistem UN 2014
sudah cukup baik dibanding tahun – tahun sebelumnya. Tetapi untuk mencapai
perbaikan yang lebih baik lagi, ada beberapa catatan otokritik yang perlu
disampaikan kepada pemerintah tentang pelaksanaan UN 2014 ini.
Pertama; UN hanya alat ukur kognitif. UN sebagai
instrumen penilaian pendidikan masih sangat lemah karena hanya mampu mengukur
aspek kognitif siswa saja, sementara aspek afektif dan psikomotorik siswa tidak
tersentuh. Kecerdasan emosional, sprtitual dan skill tidak menjadi standar
kompetensi siswa yang diperhitungkan. Bahkan UN sepertinya mendikotomi ilmu
pengetahuan dan cenderung mendewakan ilmu eksak dibanding ilmu sosial. Secara
tidak langsung hal tersebut telah mengkonstruksi pikiran siswa bahwa ilmu eksak
lebih baik dibanding dengan ilmu sosial.
Kedua;
Pembuatan Soal Ujian Nasional. Iklan pemerintah (kemendikbud) di media massa
yang menyebutkan keterlibatkan dosen sebagai tim pembuat soal ujian nasional
adalah sesuatu yang ironi dan sedikit mengusik nurani penulis sebagai guru. Kok
bisa, soal ujian nasional untuk siswa di sekolah dasar dan menengah, yang
membuatnya adalah dosen ? Mengapa bukan semuanya dari guru ? Kalau alasan
pemerintah adalah untuk meningkatkan kualitas soal ujian nasional, menurut
penulis itu alasan yang berlebihan. Idealnya, sistem penilaian pendidikan di
sekolah harus diserahkan sepenuhnya kepada kalangan guru. Guru yang mengajar,
tentunya lebih mengerti apa yang harus diujikan kepada siswanya.
Ketiga; Kelulusan
Siswa adalah Otoritas Sekolah. Kelulusan siswa pada 2014 ini masih ditentukan
nilai yang diperoleh dari UN. Meskipun kriteria kelulusan siswa telah
memperhitungkan proses belajar mengajar yang berlangsung di sekolah dengan
presentase 40% melalui nilai rapor dan nilai ujian sekolah, tetapi presentase
60% dari bobot ujian nasional masih sangat tinggi dan menentukan. Anak – anak
kita masih memiliki kemungkinan yang lebih besar tidak lulus sekolah jika
mereka salah menjawab soal – soal ujian nasional yang berlangsung beberapa jam
saja, meskipun mereka pandai ketika dalam proses belajar mengajar berlangsung
di kelas. Idealnya nilai UN bukan faktor dominan dalam menentukan kelulusan
siswa. Memberikan
otoritas kepada sekolah dalam menentukan kelulusan siswa merupakan terobosan
yang sangat positif, wajar dan logis. Karena bagaimanapun pihak yang paling
bertanggungjawab dan paling tahu secara objektif kualitas dan kompetensi yang
dicapai oleh siswa itu adalah pihak sekolah. Nilai UN cukuplah menjadi standar pemetaan
mutu pendidikan kita secara nasional.
Terlepas dari
berbagai kelemahan UN 2014, tentunya publik berharap agar masa buram ujian
nasional tidak lagi terulang. Pendidikan karakter yang digaungkan pemerintah
bukan sekedar slogan tanpa makna. UN 2014 adalah momentum strategis bagi para
praktisi pendidikan untuk membuktikan bahwa dunia pendidikan kita sudah benar –
benar bersih dan dapat dipercaya. Kredibilitas dan integritas sekolah dapat
ditunjukkan melalui momen pelaksanaan ujian nasional yang jujur, bersih, dan
bebas dari berbagai kecurangan dan penyimpangan. Semoga,,,,,,